Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
PONTIANAK // Monitor86.com
Saya ucapkan “innalillahi wainna ilaihi rojiun.” Untuk seluruh korban jiwa. Nyawa mereka melayang di saat melantunkan salawat nabi. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Salawat bergema di udara pagi Desa Sukamakmur, Ciomas, Bogor, Minggu 7 September 2025. Bangunan dua lantai Majelis Taklim Asohibiyah penuh sesak oleh lebih dari 150 jamaah, mayoritas ibu-ibu yang datang untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Di teras yang berdiri di pinggiran tebing, lantunan doa masih terdengar, hingga derit panjang kayu merobek keheningan.
“Dugggghhhhhh!”
Teras itu patah, tebing ambrol, dan puluhan tubuh terperosok ke bawah. Jeritan pecah, doa terhenti, mukena putih berlumur debu dan darah. Bangunan runtuh hanya dalam hitungan detik, menyisakan kepiluan yang tak bisa dihapus waktu.
Di antara jamaah itu ada Irni Susanti, warga Sukamakmur. Tubuhnya sempat terjepit balok, tangannya masih menggenggam jemari putrinya. Ia dibawa ke RS Medika Dramaga, sempat dirawat, namun nyawanya tak tertolong. Bersamanya, Ulan dan Nurhayati yang dilarikan ke RS PMI Bogor juga berpulang. Tiga nama itu kini terpatri dalam sejarah duka Sukamakmur.
Menurut data BPBD Kabupaten Bogor, jumlah korban mencapai lebih dari 80 orang. Ada tiga meninggal dunia: Irni Susanti (Sukamakmur), Ulan, dan Nurhayati. Ada tiga luka berat, salah satunya seorang balita yang kini berjuang di ruang ICU. Ada tujuh luka sedang dengan kondisi stabil namun masih dalam pengawasan ketat. Kemudian, 25 luka ringan, sebagian sudah diperbolehkan pulang.
Puluhan lainnya masih tersebar di berbagai rumah sakit: RSUD Kota Bogor, RS PMI, RSUD Ciawi, RS Karya Bhakti Pertiwi, RS Marzuki Mahdi, Klinik Sukamaju, Puskesmas Ciomas, hingga Klinik Arafah. Lorong rumah sakit penuh sesak, suara tangis keluarga tak pernah berhenti, dan setiap pintu IGD menjadi batas antara harapan dan kehilangan.
Bupati Bogor, Rudy Susmanto, datang dengan wajah muram. “Kami ikut berduka cita sedalam-dalamnya. Semoga keluarga korban diberi ketabahan,” ucapnya sambil berdiri di tengah reruntuhan yang masih berdebu. Ia tahu, kalimat itu tak cukup untuk menambal luka, tapi hanya itu yang bisa ia berikan saat ini.
Tim gabungan, TRC BPBD, TNI, Polri, Damkar, dan relawan, bekerja tanpa henti sejak laporan pertama diterima pukul 09.42 WIB. Puluhan tubuh diangkat dari puing-puing, sebagian masih bernafas dengan napas tersengal, sebagian hanya tinggal raga yang diam. Siang menjelang sore, evakuasi selesai, tapi suara tangisan justru makin keras, karena data resmi sudah memastikan: tiga nyawa melayang, puluhan lainnya masih dalam perawatan intensif.
Senja turun, Desa Sukamakmur sunyi. Mukena-mukena tertinggal di tanah, sobek dan kotor, kitab-kitab kecil berdebu terbuka pada halaman doa. Hujan rintik-rintik turun, seperti bumi ikut berduka. Seorang anak kecil, dengan kaki terbalut perban, masih bertanya lirih di lorong rumah sakit, “Bu… kita belum selesai shalawatan… ya Bu?” Tapi ibunya tak lagi menjawab.
Tragedi robohnya Majelis Taklim Asohibiyah kini dikenang sebagai salah satu bencana nonalam terbesar di Kabupaten Bogor tahun 2025. Lebih dari sekadar runtuhnya bangunan, ia meruntuhkan tawa, doa, dan kebersamaan yang pagi itu seharusnya menjadi hari penuh berkah.
Namun doa tidak pernah benar-benar padam. Ia tetap hidup, menggantung di langit Ciomas bersama nama-nama yang gugur. Irni, Ulan, Nurhayati, dan puluhan lainnya yang luka-luka, menjadi saksi betapa rapuhnya hidup, betapa cepat bahagia berubah jadi pilu. Dan bagi mereka yang ditinggalkan, hanya doa yang bisa menyambung, doa yang kini tertinggal di reruntuhan.
Foto Ai, hanya ilustrasi.
Publisher : Krista#camanewak
Social Footer