Breaking News

KDM Datangi BI Ngecek Tuduhan Menkeu Purbaya

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Tak kasih pantun dulu, wak! Giro disangka deposito, Sekda pun siap setor honor. Purbaya berseru, “Itu data BI, lho!” KDM ngotot, “Kami tak punya deposito, cuma giro, ngor!” Dua pesohor sedang berbalas pantun. Simak lagi narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Di sebuah negeri tropis yang gemar menyimpan rahasia di balik angka, meletuslah sebuah drama fiskal yang lebih menggelegar dari drama ijazah palsu. Tokoh utamanya, Kang Dedi Mulyadi (KDM), Sekda Herman Suryatman, dan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Latarnya, tuduhan Rp4,1 triliun dana APBD Jawa Barat mengendap dalam bentuk deposito. 

Purbaya yang mungkin baru saja menyantap sarapan data mentah, melontarkan tuduhan, Pemprov Jabar menyimpan dana dalam bentuk deposito. “Rp4,1 triliun, lho. Itu data dari BI,” katanya, dengan nada seperti dosen statistik yang baru menemukan korelasi antara kopi tanpa gula dan inflasi. Tuduhan itu dilempar ke publik seperti bola panas, dan langsung disambar media, netizen, dan grup WhatsApp alumni SMP. KDM yang lagi ngevlog pun terperanjat. Ia tidak sedang menyusun puisi atau meresmikan taman, tapi tiba-tiba harus menjawab tuduhan, uang rakyat sedang rebahan di bank, tidak bekerja, tidak berkeringat, tidak berkontribusi pada pembangunan.

Tak mau kalah, Sekda Herman Suryatman tampil sebagai pendekar kebenaran. Dengan wajah penuh tekad dan suara bergetar seperti aktor sinetron menjelang iklan sabun, ia berkata, “Kalau benar ada deposito Rp4,1 triliun, saya siap mundur.” Pernyataan itu langsung viral. Sekda jadi trending topic, bukan karena prestasi birokrasi, tapi karena taruhan jabatan demi membela giro. 

Di negeri ini, rupanya giro bisa jadi simbol integritas, dan deposito bisa jadi tuduhan kriminal.

Untuk membuktikan kebenaran, KDM dan Sekda mendatangi kantor Bank Indonesia. Mereka tidak membawa pasukan, hanya membawa surat resmi dan wajah penuh harap. Di sana, mereka bertemu dengan para penjaga data, para nabi angka, para pemelihara neraca. Hasilnya? BI menyatakan, per 30 September 2025, dana Pemprov Jabar sebesar Rp3,8 triliun berada dalam bentuk giro. Tidak ada deposito. Tidak ada bunga. Tidak ada tabungan masa depan. Hanya giro yang siap digunakan untuk belanja daerah, bayar honor MC, beli gorengan, dan nyicil pembangunan.

Namun Purbaya tetap kukuh. “Itu data dari BI,” katanya lagi, seperti kaset rusak yang diputar ulang. Mungkin beliau membaca data dari dimensi paralel, atau dari BI cabang Narnia. Di tengah kebingungan ini, publik pun bertanya, apakah data bisa berbohong? Apakah angka punya niat jahat? Apakah giro lebih bermoral dar deposito? Apakah Sekda akan benar-benar mundur, atau hanya akan bertapa di Gunung Puntang sambil menulis puisi tentang transparansi?

Kebenaran, kata para filsuf, adalah korespondensi antara pernyataan dan realitas. Tapi di Indonesia, kebenaran kadang tergantung siapa yang bicara duluan di media. Angka bisa jadi senjata, bisa jadi pelindung, bisa jadi alat pencitraan. Di tangan pejabat, data bisa berubah wujud, dari giro jadi deposito, dari kas jadi dosa, dari neraca jadi drama.

Drama ini bukan sekadar soal uang. Ini soal ego, kredibilitas, dan pertarungan naratif. Di satu sisi, pusat ingin menertibkan daerah. Di sisi lain, daerah ingin menunjukkan, mereka tidak bodoh. Di tengah-tengah, BI duduk manis, seperti wasit yang dilempar sandal oleh dua tim yang sama-sama ngotot. Rakyat? Mereka hanya bisa tertawa, menangis, dan membuat meme. Karena di negeri ini, kadang giro bisa disangka deposito, dan Sekda bisa jadi martir kebenaran.

Kalau semua gagal, kita bisa bikin sinetron, “Cinta di Atas Giro, Dusta di Balik Deposito.” Episode pertama tayang minggu depan. Jangan lupa kopi tanpa gula, wak!

Foto Ai, hanya ilustrasi

Publisher : Kris#camanewak

Type and hit Enter to search

Close