Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Pontianak —Monitor86.com
Akhirnya, bumi sepak bola Indonesia kembali bergetar. Bukan karena gempa, tapi karena sepakan halus PSSI ke arah Patrick Kluivert, sebuah tendangan mutual termination yang begitu manis di bibir, tapi pahit di dada. Kamis, 16 Oktober 2025, jadi hari bersejarah, legenda Belanda itu resmi ditendang setelah gagal membawa Timnas ke Piala Dunia 2026. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Kekalahan 0-1 dari Irak di playoff Arab Saudi jadi gong terakhir dari simfoni nestapa Garuda. Stadion sunyi, harapan mati, dan Tiktok, seperti biasa, berubah jadi arena paling gaduh di dunia maya. Tagar #KluivertOut meledak, disusul #PSSIHarusBerbenah yang bunyinya seperti doa tahajud dari rakyat yang sudah kehabisan sabar.
PSSI menulis pengumuman resmi dengan gaya diplomatis nan lembut, “Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan dinamika internal dan arah strategis pembinaan tim nasional ke depan.” Kalimat yang begitu rumit, sampai-sampai Einstein pun mungkin perlu whiteboard ekstra untuk menjelaskannya. Padahal intinya cuma satu, “Wak, ente dipecat, tapi jangan marah ya.”
Kluivert datang dengan aura Eropa, penuh gaya. Gaya rambut, gaya taktik, semua gaya. Tapi ketika gaya itu bertemu realitas lapangan Indo yang rumputnya seperti mie goreng yang disiram hujan, semua jadi tak sinkron. Filosofi “total football” berubah jadi “total bingung.” Bola bukan lagi berputar cepat seperti di Ajax, tapi lebih sering tersangkut di betis pemain dan hati suporter.
Pengamat Belanda, Valentijn Driessen, bahkan menulis dengan getir, “Kinerja Kluivert memalukan.” Ia membandingkan sang ayah dengan anaknya, Justin, yang kini bersinar di Timnas Belanda. Perbandingan itu seperti menilai Garuda dengan patung elang di taman kota, sama-sama punya sayap, tapi satu tak bisa terbang.
Pemain pun diam seribu bahasa. Sumber dalam bilang, suasana ruang ganti mulai dingin sebelum pertandingan melawan Irak. Kluivert ngomong “maintain shape!”, pemain menjawab dalam hati, “Apa maksudnya bang?” Komunikasi patah, semangat luntur, dan hasilnya, satu tiket pulang lebih awal.
Tapi, yang paling seru justru datang setelahnya, drama “siapa pengganti Kluivert?” kini jadi tontonan nasional. Nama Bojan Hodak disebut paling logis, karena sudah hafal seluk-beluk sepak bola Indonesia, termasuk cara negosiasi di stadion yang atapnya bocor. Robert Alberts ikut disebut, karena konon lebih sabar dari guru PAUD. Lalu Luis Milla, yang dianggap mantan paling layak diajak balikan, penuh kenangan, penuh harapan, tapi juga penuh risiko patah hati kedua kalinya.
Rumor paling liar: “mantan pelatih Manchester United dan finalis Piala Dunia” sedang dilirik. Netizen pun heboh. Ada yang menebak Mourinho, ada yang nebak Southgate, ada juga yang yakin itu cuma typo dari admin PSSI yang ngantuk.
Namun apa pun hasilnya, kita semua tahu, sepak bola negeri kekuasaan Prabowo bukan sekadar soal taktik. Ini soal filosofi bangsa. Filsafat keteguhan menghadapi kecewa, semangat menyalakan lilin setelah lampu stadion padam, dan keyakinan bahwa setiap kekalahan hanyalah tanda bahwa kita masih punya waktu untuk menyalahkan orang lain.
Si menir kawannya Spongebob itu sudah pergi, tapi komedi sepak bola nasional belum tamat. Kita menunggu pelatih baru, entah dia datang dengan strategi, atau sekadar doa dan jimat. Yang penting satu, selama bola masih bundar dan PSSI masih bulat tekadnya, drama ini takkan pernah kehilangan penonton.
Terbang bola ke langit Senayan,
Sorak riuh penonton reda.
Pelatih pergi tinggalkan beban,
Garuda luka tapi tetap jaya.
Rumput hijau jadi saksi,
Angin sore bawa kabar pedih.
PSSI tersenyum penuh strategi,
Kluivert terbang, tinggal nasib yang sedih.
"Bang, syukurlah di Patricj itu cepat dipecat. Kalau tidak, malas budak nak nonton Timnas."
"Benar, wak. Cuma, penggantinya kalau bisa dari Jepang lah. Lihat Jepang itu, para raksasa satu per satu disamurai mereka."
Foto Ai, hanya ilustrasi
Publisher : Kris#camanewak

Social Footer