Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalba
Tadi pagi saya menulis status, "Kite tebak-tebakan yok, wak. Kire-kire Roy Suryo cs ditahan ndak hari ini?" Jawabannya, imbang. Antara ditahan dan dilepas. Lebih jelasnya, yok kita kupas sambil seruput Koptagul lagi, wak!
Ada negeri di mana ijazah bukan sekadar kertas, tapi kitab suci peradaban. Di negeri itu, orang bisa dianggap berdosa hanya karena bertanya, “Ini ijazah asli atau fotokopi bersegel semesta?” Dari dosa kecil itu, lahirlah drama kolosal berjudul Kasus Dugaan Ijazah Palsu Jokowi. Tiga tokoh utama, Roy Suryo, Dokter Tifa, dan Rismon Sianipar, tampil bak trio musketeer dalam dunia digital, dituduh mengguncang kredibilitas negara lewat unggahan, komentar, dan mungkin, keyakinan.
Polisi memanggil mereka. Sembilan jam lamanya, 157 pertanyaan menghujani Roy seperti peluru akal sehat. Rismon mendapat 134, dan Dokter Tifa 86, mungkin sisanya ditunda karena kertas habis. Di tengah pemeriksaan, listrik sempat padam , entah karena PLN ikut gelisah memikirkan ijazah siapa yang paling terang. Namun usai itu semua, keputusan mahaagung pun turun dari langit hukum, tidak ditahan. Selamat yang menebak, tidak ditahan.
Pasal 21 KUHAP jadi malaikat pelindung mereka, tak ada alasan menahan, sebab tak ada yang melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau bersembunyi di balik tumpukan toga wisuda. Polisi bilang mereka kooperatif, santun, bahkan sopan. Mereka datang tepat waktu, menjawab pertanyaan, dan mungkin tak lupa bawa pulpen sendiri. Negara tersenyum, beginilah hukum bekerja, dengan wajah ramah dan aroma birokrasi.
Namun di sisi lain, pelapor, yang meyakini ijazah adalah simbol ketuhanan administratif, berseru dari luar markas polisi, “Tahan mereka! Mereka sudah mengulang perbuatan berkali-kali!” Suaranya menggema di udara seperti khutbah akreditasi nasional. Ia yakin, kalau ijazah bisa diragukan, maka seluruh fondasi peradaban pun ikut goyah, dari guru honorer sampai pejabat yang tanda tangan slip gaji.
Roy pun membalas dengan gaya filsuf Athena yang nyasar ke YouTube. “Saya yakin tak bersalah,” katanya, mungkin sambil menatap lampu neon yang baru menyala. Ia percaya kebenaran akan lulus dengan nilai A+, meski dunia menuduhnya nyontek realitas.
Begitulah, negeri ini kembali belajar tentang absurditas. Di mana ijazah jadi metafora eksistensi, tanpa ijazah, kau tak diakui. Tapi, kalau kau terlalu percaya pada ijazah, kau lupa, pengetahuan sejati tak pernah dicetak di kertas. Barangkali ini bukan sekadar kasus hukum, tapi drama spiritual tentang manusia modern yang lebih takut ijazah palsu dari kebodohan yang nyata.
Sementara itu, di layar TV nasional, para pengamat berjaga. Ada yang menuduh konspirasi elite kampus, ada yang menebak ini cuma sequel dari “The Diploma Awakens.” Netizen pun berpesta, menelusuri foto wisuda 1980-an seperti arkeolog mencari fosil kebenaran. Setiap thread X terasa seperti pengadilan metafisik, siapa yang berhak menentukan keaslian ijazah semesta?
Di ujung cerita, polisi menutup map tebal dengan senyum administratif. “Mereka tidak ditahan,” katanya singkat. Kamera menyorot wajah Roy, Dokter Tifa, dan Rismon, tiga orang yang mungkin tak menyangka, dalam republik ini, mempertanyakan selembar kertas bisa membuatmu sepopuler konser LTZ.
Denai, nuan, dan kita semua rakyat penonton, terdiam sejenak. Hari-hari berikutnya, bakal lebih seru. Perang opini akan lebih panas dan keras dari kedua kubu. Kita mah, asyik-asyik aja, dan tetap koptagul.
Roy diperiksa sembilan jam lamanya,
Ijazah disoal sampai petir pun gelisah.
Hukum tersenyum di meja pidananya,
Yang penting legalisir, bukan masalah.
Listrik padam di ruang tanya,
Pelapor teriak bagai orator kampus.
Tiga pendekar pulang tertawa bahagia,
Negeri ijazah tetap serius tapi lucu terus.
Roy tersenyum di depan kamera,
Ijazah dibahas macam kitab suci.
Negeri tertawa dalam drama negara,
Antara gelar dan nalar, siapa yang sakti?
Foto Ai hanya ilustrasi
Puvlisher : Kris#camanewak

Social Footer