Breaking News

Sudah 34 Nyawa Melayang, #PrayIndonesia

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Pontianak —Monitor86.com

Untuk sementara setop dulu soal prahara PBNU, Bandara IMIP, atau soal dagelan hukum. Arahkan pandangan kita pada saudara-saudara kita di Sumatera. Di sana sudah 34 nyawa melayang akibat bencana alam. Jumlah itu akan terus bertambah. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!

Indonesia, 27 November 2025. Hujan turun bukan lagi sebagai air, tapi sebagai putusan pengadilan langit. Dulu kita menyebutnya “musim hujan”, sekarang lebih pantas disebut “musim pembalasan dendam”. Sudah 34 nyawa ambruk di bawah lumpur. Ada 52 lainnya masih berkeliaran di antara puing, doa, dan sinyal HP yang pasrah. Langit sebenarnya mau bantu, tapi mungkin ia sendiri sudah muak mendengar janji-janji kita yang aromanya saja sudah seperti banjir kiriman.

Di Tapanuli Selatan, 17 nama dicoret dalam satu malam. Sibolga menelan delapan, lalu menahan 46 lainnya di perut sungai yang berubah jadi makhluk mitologi gara-gara ulah kita. Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, Nias Selatan, semua seakan berlomba seperti berebut nomor antrean di kantor kelurahan. Siapa paling cepat mengirim korban, dia yang dianggap paling “update”. Totalnya tetap, 34 tewas, 52 hilang, 175 luka, dan ribuan lainnya sekarang resmi memakai label “pengungsi”gelar yang kadang terdengar lebih manusiawi dari label asli mereka, korban pembangkangan kolektif.

Yang paling lucu, wak, ini cerita lama. Season lama. Drama yang diputar ulang setiap tahun dengan pemeran sama, dialog sama, ending sama, cuma background musiknya makin sumbang. Kita tebang hutan di lereng, lalu terkejut ketika lereng balas dendam. Kita corok-corok sampah ke sungai, lalu pura-pura histeris ketika sungai membalas mencorok rumah kita ke laut. Kita bangun bendungan gede kayak ego pejabat, lalu pura-pura religius ketika bendungan itu menyemburkan air setinggi dosa nasional. BMKG sudah teriak dari tahun ke tahun, tapi teriakannya kalah sama suara gergaji, iklan green economy palsu, dan baliho yang hijau cuma di fotonya.

Kita ini juara nasional dalam lomba “pura-pura kaget”. Setiap jembatan putus di Padang, setiap desa hilang di Kutacane, setiap anak hanyut terekspos kamera ponsel, kita langsung buka aplikasi dan ngetik #PrayForIndonesia. Seolah-olah doa ketikan jempol sambil selonjoran bisa menggantikan pohon yang kita habisi sepuluh tahun lalu. Kita sedih lima menit, repost video dramatis, lalu kembali tidur kayak tidak ada apa-apa karena besok ada rapat jam sembilan. Yang mati tetap mati, yang hilang tetap hilang, kita tetap penonton sinetron bencana.

Padahal 34 nyawa itu bukan angka. Itu adalah Dewi Hutabarat yang baru beli seragam untuk anaknya. Itu adalah Vania Aurora Lumbantobing yang belum sempat tiup lilin ulang tahun keenam belas. Itu bapak-bapak yang masih memegang cangkul ketika tanah memutuskan waktunya sudah habis. Itu ibu-ibu yang menjerit memanggil nama anaknya sambil dikejar air keruh yang naik lebih cepat daripada tobat nasional.

Tangisan kita sudah terlalu murah. Air mata kita bahkan lebih murah dari satu bibit pohon yang malas kita tanam. Doa kita di media sosial tidak pernah sampai ke tangan kita sendiri yang masih memegang kapak. Kita jago bikin narasi “bencana alam”, padahal ini murni bencana manusia. Alam cuma menagih utang, dan seperti rentenir paling jujur, ia menagih dengan cara paling teliti, ia mengubur kita di tempat yang sama di mana kita dulu mengubur masa depannya.

Hari ini 34 keluarga kehilangan segalanya. Besok mungkin giliran kita. Ketika giliran itu tiba, kita akan ulang lagi skrip lama, bikin hashtag baru, tiru wajah sedih, rekam drama lima detik, lalu lupa, sampai hujan berikutnya datang membawa vonis yang sama, untuk orang yang sama, oleh tangan yang sama.

Foto asli sumber dari Antara

Publisher : Kris#camanewa

Type and hit Enter to search

Close