Pontianak — Monitor86.com
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (DPD AWPI) Kalimantan Barat, Andi Firgi, angkat bicara menanggapi polemik pemberitaan yang berkembang belakangan ini. Ia menilai pernyataan sebuah media online yang mempersilakan Tim Monitoring AWI Pontianak “membawa persoalan ke ranah hukum” sebagai kekeliruan serius dalam memahami fungsi pers dan logika penegakan hukum, serta berpotensi menyesatkan publik.
Pernyataan tersebut disampaikan Andi Firgi saat diwawancarai awak media di Bandara Supadio, di sela agenda keberangkatannya menuju Jakarta, karena yang bersangkutan dijadwalkan segera bertolak ke ibu kota untuk menjalankan agenda organisasi.
Menurut Andi Firgi, persoalan yang seharusnya berada dalam koridor koreksi faktual dan etika jurnalistik justru digeser menjadi narasi normatif yang mempertanyakan legitimasi kerja jurnalistik pihak lain. Hal tersebut dinilainya sebagai penyimpangan serius dari fungsi hak jawab sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya UU Pers), khususnya Pasal 1 angka 11 yang mendefinisikan hak jawab sebagai hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
“Ini bukan lagi perbedaan sudut pandang jurnalistik. Ketika hak jawab digunakan untuk membangun framing kewilayahan dan mempertanyakan hak liputan wartawan, maka itu sudah keluar dari koridor hukum pers. Dalam kondisi seperti ini, pembuat berita lebih tepat diuji dan dilaporkan ke Dewan Pers, bukan diladeni dengan perang opini,” tegas Andi Firgi.
Ia menegaskan bahwa dalam sistem hukum pers nasional tidak pernah dikenal pembatasan wilayah liputan wartawan berdasarkan struktur organisasi, domisili, maupun jabatan profesi. Wartawan bukan aparatur birokrasi yang tunduk pada peta administratif, melainkan subjek hukum yang menjalankan fungsi publik atas mandat undang-undang.
Prinsip tersebut secara konstitusional dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDD 1945) Pasal 28F, yang memberikan hak kepada setiap orang untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, serta mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Jaminan ini dipertegas melalui UU Pers Pasal 4 ayat (1) yang menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara, dan Pasal 4 ayat (3) yang menyatakan bahwa pers mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarkan gagasan serta informasi tanpa pembatasan wilayah.
“Tidak ada satu pun norma dalam UU Pers yang melegalkan pembatasan liputan berbasis kewilayahan organisasi. Ketika media online membangun narasi seolah-olah wartawan harus tunduk pada wilayah struktural, itu bukan hanya keliru, tetapi berbahaya bagi demokrasi,” ujarnya. Hal ini juga diperkuat oleh konsep bahwa organisasi wartawan hanyalah wadah etik dan solidaritas, bukan lembaga yang mengatur hak liputan, sebagaimana diuraikan dalam diskusi normatif pers nasional.
Lebih jauh, Andi Firgi secara khusus mengkritisi pernyataan media online yang menyebut bahwa apabila Tim Monitoring AWI Pontianak meyakini adanya temuan investigasi di lapangan yang dianggap benar dan memiliki dasar hukum yang kuat, maka dipersilakan membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. Menurutnya, pernyataan tersebut salah alamat secara hukum dan keliru secara etik jurnalistik.
Ia menegaskan bahwa media dan jurnalis bukanlah subjek hukum dari dugaan kegiatan ilegal. Media bukan pelaku usaha, bukan pemegang izin, dan bukan pihak yang memperoleh keuntungan dari kegiatan ekonomi besar yang diduga melanggar hukum. Oleh karena itu, mengarahkan “tantangan hukum” kepada jurnalis atau tim monitoring merupakan bentuk pengaburan tanggung jawab hukum.
“Kalau memang ada bukti kegiatan itu ilegal, maka yang pantas bicara dan siap menghadapi proses hukum adalah pemilik usaha atau pengendali utamanya, big bos-nya, bukan media online atau wartawan yang menjalankan fungsi kontrol sosial,” tegas Andi Firgi. Fungsi kontrol sosial pers sendiri diatur dalam UU Pers Pasal 3 ayat (1), yang menjelaskan bahwa pers memiliki peran sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan institusi publik.
Ia menilai, pernyataan semacam itu menunjukkan kekeliruan mendasar dalam memahami fungsi pers. Dalam sistem demokrasi, tugas pers adalah mengungkap fakta dan menyampaikan informasi, sementara kewajiban pembuktian dan penindakan berada pada aparat penegak hukum. Menggeser beban tersebut kepada jurnalis sama saja dengan membalik fungsi pers dan berpotensi menciptakan efek gentar (chilling effect) terhadap kerja jurnalistik investigatif. Selain itu, setiap upaya yang menghambat atau menghalangi kegiatan pers dalam mencari dan menyampaikan informasi dapat dikenakan sanksi pidana sesuai UU Pers Pasal 18 ayat (1), yaitu penjara hingga 2 tahun atau denda maksimal 500 juta rupiah.
“Yang seharusnya dibawa ke ranah hukum adalah perbuatannya, bukan pemberitaannya. Yang diuji adalah pelaku usahanya, bukan wartawannya. Jika setiap liputan diarahkan ke ancaman hukum, itu bukan kebebasan pers, melainkan intimidasi simbolik,” ujarnya. Untuk kasus pelaku usaha yang diduga ilegal, tanggung jawab hukumnya tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan, misalnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 98 ayat (1) untuk kejahatan lingkungan, atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang (UU TPPU) jika ada indikasi aliran uang dari kegiatan ilegal.
Andi Firgi menegaskan bahwa dalam kerangka hukum pers, media hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas produk jurnalistiknya, itupun melalui mekanisme etik seperti hak jawab, hak koreksi (UU Pers Pasal 1 angka 12), atau pengaduan ke Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam UU Pers Pasal 15 yang memberikan kewenangan Dewan Pers untuk menilai dan menindak pelanggaran etika jurnalistik.
Di akhir pernyataannya, Andi Firgi juga menyampaikan saran terbuka kepada penulis dan pengelola media online tersebut agar lebih banyak belajar dan memahami Undang-Undang Pers sebelum melontarkan kritik. Menurutnya, kritik dalam dunia pers harus dibangun di atas dasar regulasi dan pemahaman yang matang, bukan asumsi yang keliru.
Ia mengaku prihatin membaca pemberitaan tersebut karena memperlihatkan lemahnya pemahaman terhadap hukum pers. “Jika tulisan seperti itu dibaca oleh para senior pers atau akademisi jurnalistik, besar kemungkinan akan memunculkan senyum reflektif, karena tampak jelas adanya kekeliruan konseptual dalam memahami Undang-Undang Pers,” katanya.
Andi Firgi menegaskan bahwa kritik yang tidak berbasis hukum dan etika justru merugikan dunia pers itu sendiri serta menurunkan kualitas diskursus publik. Ia mengajak seluruh insan media untuk terus belajar, meningkatkan literasi hukum pers, dan menjaga marwah profesi secara kolektif.
“Cukup sekian dari saya. Semoga polemik ini menjadi pelajaran bersama, bukan sekadar perdebatan. Sampai jumpa di ruang diskursus pers yang lebih dewasa dan beradab,” pungkasnya.
Publisher : TIM/RED


Social Footer