Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Pontianak —Monitor86.com
Disclaimer, ini hanya fiksi sambil ngopi. Kalau ada kesamaan, mau diapakan lagi. Siapkan Koptagul, simak cerpen absurd ini.
Mobil tahanan KPK itu terus melaju kencang. Ruangannya sempit, tapi egonya lapang. AC dingin, namun hawa di dalamnya panas seperti knalpot disiram bensin. Di bangku belakang, ayah dan anak duduk berhadapan. Borgol mengikat tangan, tapi tidak mengikat amarah. Mata mereka sama-sama melotot, rahang mengeras, napas berat seperti dua banteng dikurung satu kandang. Keduanya baru saja ditangkap KPK dan digelandang menuju Gedung Merah Putih.
Sang ayah itu tokoh besar Cikarang. Kaya raya, berjejaring, terbiasa disalami sambil membungkuk. Ia adalah mesin kemenangan Pilkada Bekasi. Logistik bergerak, dukungan mengalir, suara terkunci rapi. Ia mengantar kemenangan mudah dengan tangan tenang dan senyum tipis. Selama bertahun-tahun, dialah pusat gravitasi.
Anaknya kini bupati. Jabatan membuat punggungnya tegak dan suaranya berat. Power-nya bukan lagi turunan, tapi otoritas. Tanda tangannya menggerakkan proyek, diamnya menghentikan izin. Di luar mobil, namanya lebih ditakuti dari nama ayahnya.
“Kalau Ayah tidak menyeretku ke panggung ini, aku tidak akan duduk di sini,” kata si anak, suaranya ditekan, tapi urat lehernya menonjol. Matanya tajam, menatap seperti hendak menabrak.
Ayah menyeringai, senyum orang yang merasa berhak. “Kamu duduk di kursi itu karena aku. Jangan menghapus sejarah hanya karena kamu sekarang berkuasa.”
“Kuasaku hari ini nyata,” si anak membalas. Tubuhnya condong, bahu maju. Borgol berdenting keras. “Aku bupati. Aku yang memegang kunci.”
Penyidik di depan merapatkan bibir. Tangannya meremas pelipis. Ini bukan OTT, ini ring tinju keluarga.
“Jangan sok besar,” ayah mendengus. “Kamu cuma pion.”
Kata itu memicu ledakan. Wajah si anak memerah, alisnya mengerut, rahangnya mengeras. “Pion?” Ia tertawa pendek, getir. “Sekarang lihat siapa yang disebut pertama. Namaku. Kekuasaan itu berpindah, Yah.”
Ayah bangkit setengah badan, sejauh borgol mengizinkan. Bahu mereka bertubrukan. Mobil berguncang. Sopir refleks mengerem. Satu penyidik tersentak, hampir membentur dashboard.
“Mohon tenang,” ujar penyidik, suaranya bergetar.
“Tenang bagaimana,” ayah membalas, napasnya kasar, mata menyala. “Anak ini lupa diri.”
“Aku lupa diri karena Ayah yang mengajari,” si anak menyambar, suaranya naik, air liur muncrat. “Sejak kecil, satu pelajaran, kekuasaan di atas segalanya.”
“Kamu mempraktikkannya dengan rakus,” ayah menyodok balik. “Semua kamu telan. Proyek, izin, uang.”
Si anak mendorong dada ayah dengan bahu. Hampir. Hampir saja. Borgol menahan. Penyidik meloncat di tengah, tangan gemetar.
“Berhenti. Demi Tuhan.”
Ayah terengah, wajahnya merah, keringat muncul di pelipis. “Tanpa aku, kamu bukan siapa-siapa.”
Si anak menatap dingin, mata menyempit, suaranya rendah tapi memotong. “Tanpa jabatan, Ayah sekarang hanyalah tersangka.”
Hening jatuh seperti palu. AC mobil berdengung, terdengar nyaring. Ayah memalingkan wajah, rahangnya bergetar. Si anak menarik napas panjang, dadanya naik turun.
Mobil berhenti di Gedung Merah Putih. Pintu dibuka. Lampu kamera menyala. Mereka turun bersamaan, langkah kaku, wajah tegang, amarah belum padam.
Penyidik terduduk lemas di jok. Kepalanya berdenyut. “Korupsi di negeri ini,” gumamnya, “sudah jadi urusan keluarga. Bahkan pertengkarannya nyaris baku hantam.”
Mobil kosong. Tapi sisa amarah tertinggal, menempel di jok, di borgol, dan di perut pembaca yang tertarik, ngeri, lalu tertawa pahit.
Foto Ai hanya ilustrasi
Publisher : Kris#camanewak

Social Footer