Breaking News

Di Saat Banyak Saudaranya Tewas, DPRD Pariaman Malah Kunker, Bagusnya Diapakan Ni?

Oleh ::Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Pontianak — Monitor86.com

Tak bisa ngomong apa lagi, nurani sudah mati. Dengan alasan "sudah terjadwal" wakil rakyat ini ngotot tetap kunker. Padahal, negerinya udah hancur-lebur, banyak saudaranya tewas. Bagusnya diapain sih modelan wakil rakyat macam ini? Mari kita lindas, eh salah, kupas wakik rakyat nirempati ini sambil seruput Koptagul, wak!

Di negeri yang katanya demokratis, di mana rakyat memilih wakilnya dengan air mata dan amplop berisi harapan, sekelompok manusia terhormat dari DPRD Padang Pariaman memutuskan untuk melakukan ziarah birokratis ke Sleman. Bukan karena Sleman sedang tenggelam. Bukan karena Sleman sedang terbakar. Tapi karena, dengarkan baik-baik “ini sudah terjadwal.”

Pada 2 Desember 2025, saat air bah masih menggenangi Nagari Kasang, Batang Anai, dan ribuan warga masih mengungsi dengan tubuh menggigil dan perut kosong, para anggota Komisi I dan Komisi IV DPRD Padang Pariaman berdiri gagah di Sleman. Mereka menerima cinderamata dari Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Sleman, Agung Armawanta. Kamera mengabadikan senyum mereka. Batik rapi. Latar kayu elegan. Tidak ada lumpur. Tidak ada jeritan. Tidak ada bau anyir banjir. Hanya formalitas dan plakat. Sebuah misa kudus birokrasi.

Sementara itu, di tanah yang mereka wakili, 7 orang meninggal dunia, 1 hilang, 11 luka-luka, dan 3.192 jiwa mengungsi. Total warga terdampak, 15.382 orang. Presiden Prabowo Subianto bahkan sempat mengunjungi posko pengungsian di Nagari Kasang sehari sebelum kunker. Tapi para dewan? Mereka memilih Sleman. Karena, sekali lagi, jadwal adalah kitab suci. Tak bisa diganggu gugat. Bahkan oleh air bah.

Ketua Komisi IV, Afredison, tampil sebagai nabi baru dalam teologi birokrasi. “Ini sudah terjadwal,” katanya, seolah-olah Tuhan sendiri yang menuliskannya di batu. Ia menambahkan, sebagian anggota tetap berada di daerah untuk penanganan banjir. Sebagian. Karena sebagian lain harus menunaikan ibadah kunker. Sebab dalam agama birokrasi, lebih baik hadir di forum dari hadir di lumpur.

Rakyat? Mereka menatap layar. Melihat foto-foto para dewan berdiri di Sleman, tersenyum, menerima plakat, seolah-olah sedang menerima wahyu. Di media sosial, muncul meme dengan tulisan, “Bapak-bapak dewan terlalu.” Sebuah sindiran yang lebih tajam dari palu godam. Karena rakyat tahu, politik kita bukan tentang empati, tapi tentang estetika kehadiran.

Ini bukan sekadar kunjungan kerja. Ini adalah teater absurditas, di mana aktor-aktor berdasi berdiri di atas panggung Sleman, sementara panggung Padang Pariaman tenggelam dalam air mata. Ini adalah ritualisme kekuasaan, di mana kalender lebih penting dari korban, dan plakat lebih sakral dari pengungsi.

Ketika publik bertanya, “Mengapa tidak dibatalkan saja?” Jawaban yang datang adalah, “Sudah terjadwal.” Seolah-olah membatalkan kunker adalah dosa besar yang akan mengoyak tatanan kosmik. Seolah-olah rakyat yang tenggelam bisa menunggu, karena empati tidak masuk agenda.

Di tengah tragedi yang lebih luas, Sumatera Barat mencatat 165 korban jiwa akibat banjir dan longsor. Di seluruh Sumatera, 753 orang meninggal, 650 hilang, 2.600 luka-luka, dan 3,3 juta terdampak. Tapi di tengah angka-angka itu, para dewan kita tetap teguh: menjalankan jadwal. Karena dalam republik ini, jadwal adalah takdir. Takdir tidak bisa diganggu, bahkan oleh air mata.

Selamat datang di republik yang tenggelam. Di mana wakil rakyat lebih takut pada kekacauan agenda dari kekacauan alam. Di mana rakyat adalah latar belakang, dan panggung utama selalu milik mereka yang punya anggaran perjalanan. Di mana empati adalah gangguan, dan kehadiran di tengah bencana adalah pilihan, bukan kewajiban.

Lalu, kita? Kita hanya bisa menatap, kecewa, marah, dan tertawa getir. Karena dalam republik ini, plakat lebih penting dari pelampung.


Foto Ai hanya ilustrasi


Publisher : Kris#camanewak

Type and hit Enter to search

Close