Breaking News

Luar Biasa Thailand, DPR yang Tak Berguna Dibubarkan

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Sebelumnya saya sudah mengajak kalian ke Bulgaria. Di sana Gen-Z sukses me-nepal-kan atau melengserkan presidennya. Kita pindah ke tetangga kita, Thailand. Negeri Jirayut ini sukses membubarkan DPR yang dinilai tak berguna alian unfaedah. Simak narasinya sambil seruput Koptagul lagi, wak!

Raja Maha Vajiralongkorn menyetujui pembubaran DPR. Suasana Grand Palace tiba-tiba berubah menjadi panggung teater absurd, emas berkilau, lonceng berdentang, lalu satu kalimat jatuh dari langit, parlemen bubar. Publik terdiam, turis bingung, politisi menelan ludah. Kita di seberang laut hanya bisa berbisik sambil tersenyum sinis, Ini Thailand Bukan Kita.

Perdana Menteri Anutin Charnvirakul muncul bak gajah putih, simbol kekuasaan sekaligus beban. Ia melangkah pelan, berat, dan setiap langkahnya mengguncang lantai politik. Ketika negosiasi konstitusi mentok dengan Partai Rakyat, Anutin memilih jurus paling Thailand, bukan berdebat sampai pagi, melainkan membubarkan meja makan. DPR dilipat seperti tikar pasar malam di Chatuchak, selesai, tutup lapak. Katanya ini demi rakyat, demi stabilitas. Kalimat itu terdengar semanis Thai Tea, manis sekali, sampai kita curiga gulanya kebanyakan. Tapi apa boleh buat, Ini Thailand Bukan Kita.

Di jalanan, demokrasi Thailand berbau tom yum, pedas, asam, panas, dan bikin mata berair. Pemilu dijanjikan 45–60 hari setelah dekrit kerajaan, secepat kereta BTS Skytrain melintas di Bangkok. Februari 2026 disiapkan sebagai perhentian berikutnya. Namun publik tahu, rel politik Thailand sering bergeser, kadang lurus, kadang mendadak belok ke arah kudeta. Sejarah dua dekade terakhir seperti pasar malam yang tak pernah benar-benar tutup. Tapi, sekali lagi, Ini Thailand Bukan Kita.

Sementara itu, latar belakang dramanya bukan kaleng-kaleng. Konflik Thailand–Kamboja meletup seperti kembang api Loy Krathong yang gagal jatuh ke air, indah di awal, mematikan di akhir. Korban berjatuhan, pengungsi mengalir, dan di saat bersamaan banjir bandang menyapu Thailand selatan, menenggelamkan rumah dan janji politik. Pemerintah dikritik habis-habisan, DPR disalahkan, dan solusi paling logis menurut elite adalah, bubarkan DPR. Seperti mematikan AC rusak dengan cara mencabut seluruh listrik rumah. Aneh, tapi tegas. 

Partai Rakyat, muda dan progresif, berdiri seperti patung Buddha berjalan di Sukhothai, tenang, tapi jelas arahnya. Mereka mengancam mosi tidak percaya, menekan Anutin sampai dinding istana terasa makin dekat. Pemerintahan minoritas goyah, seperti tuk-tuk kelebihan muatan di tanjakan. Dalam kondisi seperti ini, pembubaran DPR dijual sebagai “tanggung jawab pada rakyat”. Ironi itu tebal, bisa dipotong pakai pisau sate ayam. Namun publik negeri Siam sudah terbiasa hidup dalam paradoks.

Di sinilah rasa iri itu muncul. Dari Indonesia, kita menonton Thailand seperti menonton Muay Thai, keras, langsung, tanpa basa-basi. Ketika parlemen dianggap sumber masalah, ia ditendang keluar ring. Tidak ada seminar nasional berbulan-bulan, tidak ada rapat berlapis-lapis. Sekali dekrit turun, selesai. Maka wajar jika pembaca mulai berpikir nakal, bagaimana kalau DPR RI juga dibubarkan saja? Bukan karena anti-demokrasi, tapi karena rindu keputusan yang nyata. Tentu ini hanya satire, hanya angan-angan sambil menyeruput kopi. Karena kita tahu, dan harus terus diingatkan, Ini Thailand Bukan Kita.

Akhirnya, negerinya Buakaw Banchamek ini mengajarkan satu hal, negeri ini bisa runtuh dan bangkit seperti wat tua yang direnovasi berkali-kali. Parlemennya bisa bubar, pemilu digelar ulang, dan hidup terus berjalan. Kita menonton, tertawa pahit, lalu menutup layar dengan kalimat pengaman terakhir, Ini Thailand Bukan Kita.

Foto Ai hanya ilustrasi

Publisher : Kris#camanewak

Type and hit Enter to search

Close