Breaking News

Upaya Prabowo Men-sawit-kan Pulau Papua

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Pontianak — Monitor86.com

Saya tidak tahu apakah rakyat Papua senang atau sedih ketika Presiden Prabowo mau men-sawit-kan pulaunya.  Mari kita ungkap faktanya sambil seruput kopi Senang khas Sorong tanpa gula, wak! 

Baru saja negeri ini sibuk mengubur ribuan korban bencana tanda tangan di Sumatera. Air datang tanpa permisi, tanah runtuh tanpa salam. Kata sebagian pejabat, itu cuma “musibah alam”. Padahal semua orang waras tahu, hulu bencananya sudah dipersiapkan puluhan tahun, hutan digunduli, diganti kebun sawit monokultur sejauh mata memandang.

Belum kering lumpur di sepatu pengungsi, pada 16 Desember 2025, Presiden Prabowo Subianto tampil penuh semangat di rapat percepatan pembangunan Papua. Dengan nada optimistis, beliau menyampaikan gagasan segar, Papua perlu ditanami kelapa sawit untuk menghasilkan BBM, ditambah tebu dan singkong untuk etanol.

Timing-nya presisi, pace. Seperti orang yang baru selesai membakar dapur tetangganya, lalu datang ke acara tahlilan sambil bawa jeriken bensin dan bilang, “Tenang, saya bawa solusi.”

Jangan salah, solusi ini tidak main-main. Disiapkanlah lebih dari dua ribu excavator raksasa, tepatnya ribuan unit alat berat merek Sany dari China, dengan nilai sekitar Rp4 triliun. Alat-alat ini dikirim bertahap oleh pengusaha besar asal Kalsel.

Secara resmi, excavator itu katanya untuk mencetak satu juta hektare sawah di Merauke, bagian dari program food estate demi swasembada pangan dan bioetanol. Padi, tebu, singkong, semuanya terdengar patriotik. Sang pengusaha bahkan menyebut ini “tugas negara langsung dari Presiden”, tanpa hitung untung rugi, demi lapangan kerja orang Papua.

Manis, pace. Sangat manis. Tapi publik juga paham, ketika pengusaha sawit dan biodiesel mengirim ribuan monster besi ke hutan primer, itu mirip orang datang ke UGD bawa gergaji mesin sambil bilang, “Tenang, cuma mau operasi kecil.”

Sekarang kita berdiri dan beri tepuk tangan panjang. Di Papua hari ini, 94 perusahaan sawit sudah menguasai lebih dari 1,3 juta hektare lahan. Kalau digabung, luasnya cukup bikin negara baru, spesialis ekspor minyak goreng dan konflik agraria.

Nama-namanya bukan pemain figuran. Ada Korindo Group dan Tunas Sawa Erma dengan ratusan ribu hektare lewat anak perusahaan seperti PT Dongin Prabhawa, PT Bio Inti Agrindo, PT Gelora Mandiri Membangun, PT Papua Agro Lestari. Ada Pacific Interlink Group lewat PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama di Boven Digoel.

Menyusul Tadmax Group, Salim Group melalui Indo Gunta dengan lebih dari 135 ribu hektare, Capitol Group lewat PT Henrison Inti Persada, Austindo Nusantara Jaya, PT Indo Asiana Lestari yang kerap berkonflik dengan suku Awyu, PT Permata Nusa Mandiri di Lembah Grime Nawa, PT Pusaka Agro Lestari di Mimika, PT Nabire Baru milik Carson Cumberbatch, bahkan PTPN II milik negara di Arso, Keerom.

Belum cukup? Masih ada PT Central Cipta Murdaya, PT Agriprima Cipta Persada, PT Berkat Cipta Abadi, PT Hardaya Sawit Papua, hingga PT Subur Karunia Raya di Teluk Bintuni.

Hasil kerja kolektif ini indah sekali di atas kertas investasi. Tapi di lapangan, deforestasi Papua periode 2022–2023 mencapai 552 ribu hektare, sekitar 70 persen dari total deforestasi nasional. Padahal daya dukung ekologis maksimal Papua hanya sekitar 290 ribu hektare. Artinya, kita sudah melampaui batas berkali-kali lipat, tapi pedal gas tetap diinjak dalam-dalam.

Alasannya klasik dan selalu ampuh,ndemi menghemat impor BBM yang katanya tembus Rp520 triliun per tahun.

Sementara itu, masyarakat adat Papua, suku Awyu, Moi, Knasaimos, Tehit, dan ribuan Orang Asli Papua, berteriak lewat Dewan Adat Papua dan koalisi sipil. Pesannya sederhana tapi keras, “Hutan adalah mama kami.” Ia sumber hidup, identitas, dan martabat.

Peringatan datang bertubi-tubi dari WALHI Papua, Greenpeace, Yayasan Pusaka, JATAM, hingga Amnesty International. Semua bilang ini pendekatan kolonial gaya lama, top-down, abai suara lokal, berpotensi mengulang tragedi Sumatera, banjir, longsor, konflik, pemiskinan struktural, emisi karbon melonjak, sementara Indonesia berjanji Net Zero Emission 2060.

Tapi suara-suara itu kalah nyaring dibanding deru ribuan excavator yang sudah berjejer rapi di Merauke. Besi berbicara lebih lantang dari adat, pace.

Maka mari kita sambut masa depan yang “cerah”. Papua yang dulu hijau dan kaya biodiversitas pelan-pelan berubah jadi hamparan sawit seragam. Banjir tahunan menjadi tradisi. Masyarakat adat menjadi penonton di tanah leluhur sendiri.

Kita, warga kota yang jauh dari sana, bisa mengisi bensin sambil berkata enteng, “Ini demi kemandirian energi kok. Korban kecil lah.”

Kisah yang katanya inspiratif. Tapi yang terasa justru dada sesak, mata panas, dan tangan mengepal. Bukan karena haru, melainkan karena marah yang tak tahu harus ke mana.

Tersisa kekuatan hukum adat Papua melawannya. Kalau ini juga jebol, Papua segera mirip Sumatera dan Kalimantan 


Publisher : Kris#camanewak

Type and hit Enter to search

Close